Jumat, 11 Februari 2011

lagi-lagi Tukang gigi vs Dokter gigi (pencerahan)


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 339/MENKES/PER/V/1989
TENTANG
PEKERJAAN TUKANG GIGI

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 
a. bahwa upaya pengobatan berdasarkan ilmu atau cara lain dari pada ilmu 
kedokteran, diawasi oleh pemerintah agar tidak membahayakan kesehatan 
masyarakat, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang 
Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan;
b. bahwa tukang gigi selama ini dalam melakukan pekerjaannya, banyak 
berhubungan dengan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang 
menggunakan cara dan alat yang sebagian besar ada kesaamaannya dengan 
alat kedokteran gigi, akan tetapi tidak memiliki pendidikan di bidang ilmu 
kedokteran gigi, sehingga perlu diawasi dan ditertibkan agar tidak merugikan 
masyarakat;
c. bahwa dalam rangka pengawasan dan penertiban sebagaimana dimaksud huruf 
a dan b tersebut di atas, izin pekerjaan tukang gigi secara bertahap akan
dihapuskan termasuk anak atau keturunannya yang melanjutkan pekerjaan 
sebagai tukang gigi;
d. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 
53/DPK/I/K/1969 yang mengatur tentang pendaftaran dan pemberian izin 
menjalankan pekerjaan tukang gigi, tidak sesuai lagi oleh karena itu perlu 
diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b, c, dan d tersebut di atas perlu 
diatur tentang pekerjaan tukang gigi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri 
Kesehatan Republik Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan

M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 
TENTANG PEKERJAAN TUKANG GIGI

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
a. Tukang gigi adalah mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran gigi serta telah mempunyai izin Menteri Kesehatan untuk melakukan pekerjaannnya;
b. Sarana kesehatan adalah praktek dokter gigi, klinik gigi, rumah sakit, dan puskesmas yang mempunyai unit pelayanan kesehatan gigi;
c. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugasnya mencakup kesehatan gigi.

BAB II
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN
Pasal 2
(1) Tukang gigi ysng telah memiliki izin berdasarkan Peraturan Menteri Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969, wajib mendaftarkan diri kembali ke Kantor Departemen Kesehatan Kabupaten/Kotamadya setempat.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan salah satu persyaratan dalam rangka pertimbangan pembaharuan pemberian izin.


Pasal 3
(1) Pembaharuan izin sebagaimana dimaksud pasal 2 dikeluarkan oleh Kantor Departemen Kesehatan Kabupaten/Kotamadya setempat.
(2) Izin tukang gigi berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun, dan dapat diperpanjang kembali.

Pasal 4
Pembaharuan izin sebagaimana dimaksud pasal 3 diberikan apabla tukang gigi memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Telah mendaftarkan kembali izin yang telah dimilikinya seperti dimaksud pasal 2;
b. Belum melewati usia 65 (enam puluh lima) tahun dan masih mampu melakukan pekerjaan sebagai tukang gigi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
c. Tidak sedang menjalani hukuman administrative atau pidana;
d. Memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pasal 5.

Pasal 5
Tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya harus:
a. Mempunyai ruang kerja yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:, 
1. Lantai, dinding, langit-langit, jendela, pintu yang bersih serta lubang ventilasi yang memadai;
2. Mebelir yang bersih dan rapih;
3. Tersedia wastafel, sabun, handuk yang bersih dan air buangan yang lancer, serta tempat sampah yang tertutup;
4. Perlengkapan untuk pemeriksaan gigi harus steril
b. Mempunyai laboratorium teknik gigi yang memadai

Pasal 6
Tata cara pendaftaran dan pemberian izin sebagaimana dimaksud pasal 2 dan 3 ditetapkan oleh Direktur Jenderal.


BAB III
KEWENANGAN PEKERJAAN TUKANG GIGI
Pasal 7
(1) Tukang gigi dalam melakukan pekerjaannnya diberikan kewenangan dalam hal:
a. Membuat gigi tiruan lepasan dari karilik sebagian atau penuh;
b. Memasang gigi tiruan lepasan
(2) Tukang gigi dalam pemasangan gigi tiruan sebagaimana dimaksud huruf b ayat (1) tidak menutupi sisi akar gigi.

BAB IV
R U J U K A N
Pasal 8
Apabila tukang gigi dalam melakukan pekerjaannnya menemui kasus diluar batas kemampuannya harus merujuk ke sarana kesehatan yang terdekat.

BAB V
L A R A N G A N 
Pasal 9
Tukang Gigi dilarang:
a. Melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun;
b. Melakukan pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat/mahkota.tumpatan tuang dan sejenisnya;
c. Menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan bahan tambahan gigi, baik sementara ataupun tetap;
d. Melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan;
e. Melakukan tindakan-tindakan secara medic termasuk pemberian obat-obatan;
f. Mewakilkan pekerjaannnya kepada siapapun juga.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 10
(1) Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk, membina dan mengawasi tukang gigi dalam menjalankan pekerjaannya;
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan organisasi profesi yang terkait;
(3) Tukang gigi selama menjalankan tugas pekerjaannya wajib mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 11
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif berupa teguran lisan sampai dengan pencabutan izin.
(2) Selain tindakan adminsitratif sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada yang bersangkutan dapat juga dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 12
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka semua tukang gigi yang telah memiliki izin berdasarkan Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969, wajib mengganti surat izinnya dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 14
Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam peraturan menteri ini, ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 15
Peraturan menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Bertita Negara Republik Indonesia

Ditetapkan di : JAKARTA
Pada tanggal : 24 Mei 1989
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
ttd
Dr. ADHYATMA, MPH


Betapa saya begitu gerah melihat aksi mereka belakangan ini tiba-tiba saya diberikan pencerahan  melalui  info yang didapat dari TS yang juga dosen saya(Begitu jelas bahkan sudah ada aturannya dari tahun 1989 -_-").
Jadi kekhawatiran dan kekesalan saya sebagai dokter gigi cukup beralasan bukan? BUKAN karena kami DOKTER GIGI takut tersaingi oleh TUKANG GIGI (Rejeki sudah ada yg mengatur dan punya porsinya masing2) tapi apa yang mereka lakukan sudah menyalahi aturan, menghalalkan sesutu demi uang tanpa peduli akan pengaruh jangka panjang dan bukan kompetensi mereka pula melakukan PERAWATAN kepada PASIEN (ORTHO,TAMBALAN, dll). Dengan saya men share tulisan ini agar diketahui khalayak yang semoga bisa membuka mata, hati dan pikiran.

Mengutip status seorang teman (Sammy Rusli,drg) yang juga diambil dari twit TS Gita Astari Soerialaksana, drg :
 
"seorang desainer dibyr secara profesional utk karya2 desainnya,bukan harga pensil dan kertasnya. begitu juga arsitek. kami dokter gigi, juga tidak menjual bahan  tambal,bracket, atau sewa tang cabut. knapa mengejar harga murah ke tukang gigi?apa yg mreka berikan?terapikah?tanggungjawab treatment kah?be smart!!"



Jakarta, 11 Februari 2011 -Hatur nuhun untuk drg.Gilang and drg. Belly atas izin share Permenkes, semoga drg bersuara makin bersatu-