Selasa, 05 Oktober 2010

Sekeranjang curhatan jujur yang berharga ^^

SKG (Sarjana Kedokteran Gigi) diraih bukan berarti hasil akhir seperti halnya teman2 saya di fakultas lain yang bisa langsung mencari kerja dan menghirup udara bebas. Justru itu baru gerbang awal. Kalau saya mau jadi dokter gigi saya harus melanjutkan ke tingkat profesi dengan kata lain menempuh masa koasistensi profesi dokter gigi. Sebut saja koass. Katanya bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih 2 tahun (katanya yah). Yasudah saya coba lalui. Awal-awal dateng ke sekeloa bingung mau ngapain. Katanya sesuai jadwal disuruh ikut yang namanya pra-koas. Bilangnya persiapan sebelum masuk koas jadi biar masuk klinik katanya ga bodoh-bodoh banget (jadi waktu preklinik ngapain aja?? --__--). Dikasih pengarahan di tiap-tiap bagian, beberapa bagian menuntun kita melakukan pekerjaan antar teman seperti menambal dan menyuntik. (katanya sih biar tahu rasanya dulu sebelum ke orang lain), belajar status, response atau mungkin hanya diminta observasi saja trus buat makalah (sejujurnya saat itu ga ngerti juga apa yang dilihat, hehehe….). Alhasil, 2 bulan berlalu, prakoas pun usai dan dikasih libur lagi (mungkin waktunya buat nyari pasien dan belajar lagi (apa???belajarr??) yang ada pada pulang ke rumah masing2,ckckck---> don’t imitate it,okay?). Tiba-tiba udah ada aja pengumuman jdwl masuk koas dan bangku namun sebelumnya harus mengikuti sumpah koas dulu (keren yah koas aja perlu disumpah dulu hehehe…). Mulai panik! Liat requirement segitu banyak buat persyaratan lulus dan belum punya pasien sama sekali. Akhirnya dengan teman sekelompok berencana buat penyuluhan ke sekolah. Yah lumayanlah untuk stok minggu pertama di benak kita masing2 berpikir. Itulah awal mula pencarian pasien dimulai. Selanjutnya mengandalkan kemampuan public speaking dan persuasif saya saat ada pasien loket ataupun ketika dikenalkan oleh orang baru yang mau dirawat. Setelah melewatinya, ternyata makin kompleks hidup di dunia perkoasan,,tidak berniat melebih-lebihkan ya…
Oke, saya coba berbagi pengalaman di dua bagian saja (kalau semua bagian bisa sampe subuh saya nulis hehe…). Dimulai dari pencarian orang-orang yang mau dirawat dengan tingkat kesadaran yang tinggi (bukan hanya sampai selesai dirawat tapi sampai kontrol saudara2!). Kalau saya teringat sekarang saya Cuma bisa senyum-senyum. Saya ingat dulu pernah mencari rumah pasien parsil bersama teman hingga ke daerah dago ujung pake kendaraan umum dan kemudian jalan mendaki menyusuri jalan yang cukup menanjak (itung-itung olahraga hahaha….ya ga mei?) dan tahukah saudara2….perjuangan pun pertama kali diuji oleh Yang Maha Kuasa. Sang pasien pun memberikan harapan palsu. Setiap minggu ditunggu namun tak kunjung datang hingga akhirnya harus merelakan dan pencarian dilakukan kembali. 3 bulan berlalu dan saya hampir desperate ga kerja prosto T-T. Namun Tuhan memang menguji kesabaran hambaNya. Bulan ke-4 bulan penuh berkah. Saya ditawari pasien parsil saat saya sedang duduk2 di lobi (thanks to Nuri dan wiwit ^^) dan besoknya saya ditawari berpartneran mengerjakan dowel oleh teman saya (thanks to sekar dan dewi ^^). Beda lagi cerita saya di bagian perio. Sampai awal semester tiga saya sudah menscaling 17 pasien tapiiiiii yang balik kontrol cuma sepuluh dan belum ada pasien kasus kompleks apalagi bedah hiks….. Dua kali mengajukan ditolak yang terakhir giliran ada tidak menyanggupi perawatan lanjutan (huhuhu… nasib!). Seperti di lagu the Masiv “Jangan menyerah” Rejeki memang datang di saat yang indah menurut-Nya, akhirnya di penghujung semester tiga komplekspun didapat, rootplan dan bedah pun tercapai. Alhamdulillah, buah kesabaran dari berikhtiar (thanks to rima dan mba ela ^^). Pelajaran pentingnya adalah “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah) dan saya yakin bahwa the best is yet to come.
Yang namanya perjuangan memang jalannya tidak mulus2 saja. Kalau sekarang diingat-ingat Banyak juga ya pengalaman yang seru! (saat itu sih ngerasanya bikin deg2an dan emosi jadi labil hehehe). Sekali lagi saya katakan, perjuangan memang butuh pengorbanan. Antara lain saat putaran pedo, demi mengejar ketertinggalan, saya rela panas2an dan hujan2an menjemput anak dari ujung ke ujung (PP via sekeloa-sadang serang-dago pojok-cisitu ujung dengan kendaraan umum dan jalan kaki pfuiihhh…)Namun karena itu juga saya banyak belajar mengenal kehidupan orang lain yang tidak seberuntung saya. Mana pernah saya menduga kalo ternyata salah satu pasien saya mengorbankan waktunya untuk dirawat ke fkg padahal seharusnya dia membantu ibunya berjualan gorengan keliling. Dari situlah saya mulai belajar sabar dan berpositif thinking bila pasien saya tidak datang atau ngaret (Berjuta terima kasih karena kalian bintang itu bisa diraih ^^). Pelajaran pentingnya adalah keep positive thinking although sometimes the reality is hard to recognize
Nah ada lagi nih fenomena yang namanya menunggu jadwal diskusi yang tak kunjung tiba (bahkan ada yg berbulan-bulan),sampai-sampai model pun lumutan (ini baru berlebihan hehe….). Trus pernah ga dimarahi dan diusir keluar ruang diskusi oleh karena kebodohan sendiri? Itu juga pernah dialami waktu awal-awal semester (ya iyalah kalo udah pinter pasti udah lulus hehe…masih inget ga azky widy diskusi simple kita?;p) Tapi karena itu juga kalau bukan saya diusir, mungkin Carranza tidak akan pernah saya buka bahkan hanya jadi pajangan kamar saja, trus saya ga akan tahu cara probe yang baik, memakai disclosing solution yg benar, pemberian OHI yang baik dan lain sebagainya (thanks ya dok ^^). Pelajaran pentingnya adalah “You’ll never know if you don’t try”.
Ternyata jadi Koas itu benar-benar mantap! Emosi kita bisa dibuat berubah sewaktu-waktu. Dari mulai senang, sedih hingga nangis (bisa bahagia karena terharu atau kecewa). Senang saat hasil kerjaan kita dihargai oleh dokter supervisor berupa acc, saat diskusi dan ujian berjalan dengan lancar, saat pasien yang kita rawat senang dan puas akan hasil kerjaan kita tanpa peduli sudah berapa banyak uang kita keluarkan. Sedih dan kecewa saat pasien ingkar janji, tidak ada kabar dan hingga kabur sehingga musti harus mengulang kerjaan kembali, saat acc, diskusi atau ujian tidak lancar, saat baru tersadar uang di dompet sudah habis lagi (demi membayar seperti pekerjaan full2, bridge, ortho dan foto2 endo, kompleks perio kalau pasiennya maunya dibayarin hikss,,,,mengalir dengan sangat deras setiap harinya melebihi shopping di mall). Trus belum lagi saat-saat harus mengetek kursi dari subuh khusus di bagian2 tertentu, antri gantian memakai kursi, mengantri panjang antrian acc dan ternyata bel berbunyi, mengorbankan waktu tidur untuk jaga malam, dan membuat paper serta journal reading OM, mengantri untuk laporan, dan lain sebagainya. Seperti membentuk suatu lingkaran, kelulusan disini ditentukan oleh tiga faktor : pasien, diri kita dan dokter supervisor. Satu tidak mendukung, rasanya seperti hari yang sia-sia (betul tidak?) seperti dalam lagu Jordin Sparks “One step at a time” ^^. Dan pelajaran penting yang saya dapat adalah saya jadi lebih menghargai waktu dan kesempatan (peluang).
Mungkin ini cuma segelintir cerita dan saya yakin masing-masing koas di FKG UNPAD pasti punya cerita yang berbeda dengan saya atau bahkan lebih heboh….who knows?
Namun di cerita ini saya belum bisa membagikan bagaimana rasanya sidang kompre yang katanya bikin panas dingin itu,mungkin di next story kali ya hehe….
Oke, di penghujung cerita saya cuma mau bilang bahwa dibalik cerita ini tidak ada maksud untuk menggurui apalagi memprovokasi, hanya ingin membagi cerita yang mungkin tidak penting bagi beberapa orang tapi begitu berharga bagi saya bahwa ternyata perjalanan kita cukup panjang teman-teman untuk meraih gelar DOKTER GIGI. So, jangan menyerah, guys! Tunjukkan bahwa kita adalah pejuang-pejuang tangguh yang dapat survive dalam kondisi apapun! Anggap saja latihan sebelum kita nanti benar-benar terjun seorang diri mengabdi ke masyarakat. Patch Adam (seorang dokter, aktivis social, badut professional,penulis dan pendiri Gesundheit Institute) pernah menjabarkan kalimat yang bagus sekali di bukunya “Saya tidak mau orang-orang terkagum-kagum pada semangat dan ketekunan kami, melainkan terinspirasi oleh kami untuk bekerja keras bertahun-tahun dan juga bekerja keras untuk apa yang mereka yakini”

Bandung, 5 Oktober 2010
"Terlontar dari suara hati teramat dalam"